Selasa, 15 Juli 2008

Pertumbuhan Pasar Properti

Masih Diambang Aman

Meski dibayang-bayangi kenaikan harga minyak, penjualan properti tetap menorehkan hasil menggembirakan sepanjang kuartal I 2008

Perusahaan konsultan properti, PT Procon Indah belum lama ini memaparkan dalam risetnya, bahwa sepanjang kuartal I 2008 sektor properti, khususnya perkantoran, mencatat kinerja terbaiknya. Permintaan properti perkantoran sepanjang empat bulan pertama 2008 mencapai 135.500 meter persegi. Angka itu merupakan permintaan terbesar sepanjang sejarah di Indonesia. Hal itu didorong oleh tingginya tingkat hunian pasar perkantoran, khususnya di area Central Business District (CBD) sebesar 87,7 persen. Pasokan baru tersedia sebesar 151.400 meter persegi, Sehingga total pasukan ruang perkantoran di CBD Jakarta mencapai 3,6 juta meter persegi, naik 4,4 persen dari kuartal sebelumnya.Adapun subsektor perumahan di Jabodetabek, dari 44 lokasi perumahan besar yang dimonitor PT Procon Indah, setiap bulan rata-rata terserap pasar sebanyak 1.541 unit. Penyerapan tertinggi ada di Tangerang. Pesaing terdekat Tangerang adalah perumahan-perumahan yang berlokasi di daerah di Cibubur dan Bogor. Daya tarik iklim yang sejuk, pemandangan pegunungan serta bebas banjir, membuat ke dua daerah itu tetap favorit bagi kalangan menengah ke atas. Demikian juga Bekasi. Lebih beragamnya kelas perumahan yang tersedia membuat daerah di timur Jakarta itu tetap menjadi favorit segala kalangan.

Pengamat properti, Panangian Simanungkalit merinci pertumbuhan properti tahun ini walaupun dibayang-bayangi dengan kenaikkan harga minyak dan kenaikan BI rate, tetapi masih dalam ambang aman. Walaupun diakuinya beberapa subsektor properti, seperti kondominium akan mengalami perlambatan. Panangian tetap memperkirakan industri properti bisa tumbuh hingga 8 persen pada tahun 2008. Properti lanjutnya, bisa terguncang jika BI Rate naik sampai 200 poin, atau mencapai rate 10 persen.

Dalam media briefing yang dilakukan pekan lalu, hal yang tidak jauh berbeda juga diuraikan oleh Jones Lang LaSalle, konsultan properti asal Amerika. Mereka menjelaskan beberapa subsektor peroperti akan mengalami perlambatan. Tetapi di Asia yang kebanyakan merupakan negara-negara berkembang seperti Indonesia, resesi sebagai dampak kenaikan harga minyak tidak terlalu besar.
Lebih jauh, Lucy Rumantir, Chairman Jones Lang LaSalle Indonesia, menjelaskan bahwa di sektor properti yang kemungkinan lebih sensitif terimbas dampak resesi tersebut adalah subsektor yang rentan terhadap faktor inflasi dan suku bunga, yaitu pasar ritel seperti pusat perbelanjaan dan kondominium. Bila sekiranya harga-harga barang terus naik, penurunan daya beli konsumen bisa mempengaruhi ekspansi bisnis peritel sehingga berpotensi mempengaruhi tingkat permintaan pasar.
Sementara itu, persaingan di pasar kondominium yang sudah ketat bisa menjadi semakin ketat apabila suku bunga terus naik, dimana investor bisa saja mengalihkan investasinya dari properti ke deposito atau instrumen perbankan lainnya. Sementara di pasar perkantoran komersial, terlepas dari kemungkinan dampak resesi ekonomi, permintaan dari tenant-tenant besar untuk pindah ke gedung baru yang lebih berkualitas akan terus tumbuh dan mendukung laju permintaan pasar.
Menanggapi dampak Pemilu 2009 terhadap pertumbuhan pasar properti di Indonesia, Lucy Rumantir menjelaskannya dengan mengambil contoh pertumbuhan properti di tahun 2004, ketika Indonesia pertama kali mengadakan pemilu secara langsung. Pada periode itu justru permintaan pasar kondominium meningkat tajam. Hal itu disebabkan dua faktor, yaitu tingginya permintaan yang tertahan sejak krisis 1998 dan rendahnya suku bunga yang membuat investor beramai-ramai mengalihkan portofolionya ke sektor properti. Untuk Pemilu 2009 yang akan datang ini, Lucy Rumantir berkeyakinan bahwa respon yang sama akan ditunjukkan oleh pasar properti Indonesia, dimana isu-isu politik diperkirakan tidak akan banyak mempengaruhi pertumbuhan pasar properti.
Bedanya, kata Lucy, bila di tahun 2004 lalu, permintaan demikian tinggi dan suku bunga berada di level terendah dalam sejarah, maka dalam dua tahun ke depan ini pasar properti akan lebih banyak dipengaruhi oleh tingginya persaingan dalam merebut konsumen karena konsumen semakin lama semakin kritis, khususnya di subsektor perumahan.

Kenaikan Harga Jual

Sejumlah pelaku industri properti telah memproyeksikan untuk menaikkan harga jual produk mereka 5%–15% hingga akhir 2008. Persentase kenaikan tersebut tentunya tetap memerhatikan pangsa pasar yang mampu menyerap kenaikan itu. ”Pelaku industri properti memang dihadapkan pada pilihan sulit. Menaikkan harga jual atau memakai patokan harga sebelumnya. Pilihan pertama berdampak pada daya serap pasar. Pilihan kedua pasti mengandung konsekuensi tergerusnya keuntungan, ” jelas F. Teguh Satria, Ketua Umum Realestat Indonesia.
Direktur Utama PT Summarecon Agung Tbk Johanes Mardjuki mengatakan, selama kuartal I 2008 pihaknya sudah menyesuaikan biaya pembangunan dengan menaikkan rata-rata harga jual properti lima persen. Johanes, memperkirakan potensi kenaikan harga jual properti hingga akhir tahun bisa mencapai 15 persen. Porsi kenaikan itu masih dinilai kurang wajar mengingat angka kumulatif lonjakan harga ongkos pembangunan mencapai 10%-20%. Tapi, kata Johanes, kenaikan ini sudah sejalan dengan sejumlah acuan pasar. Tingkat inflasi per triwulan lalu saja sudah lebih besar dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.

Pendapat senada disampaikan Presiden Direktur PT Bakrieland Development Tbk Hiramsyah S. Thaib. Ia menyatakan, tren kenaikan harga properti sekarang mencapai 5%–10%. Pemicu utama kenaikan harga itu adalah melonjaknya harga besi baja yang sejak akhir tahun lalu mencapai dua kali lipat. ”Mudah-mudahan harga besi turun karena informasinya permintaan dari negara yang menyedot produksi baja terbesar di dunia, yakni China, India, dan Timur Tengah, mulai berkurang,” papar Hiramsyah, beberapa waktu lalu.

Ciputra, praktisi properti, berpendapat sebaliknya. Menurutnya, lonjakan harga minyak dunia tidak akan berpengaruh terlalu besar terhadap pertumbuhan sektor industri properti jika pertumbuhan ekonomi minimum 6 persen terpenuhi.

Keyakinan akan tetap lajunya sektor properti juga diamini oleh para bankir. Di tengah gejolak kenaikan harga minyak dan naiknya BI Rate 25 basis poin ke level 8,25 persen tidak membuat perbankan langsung merevisi target pengucuran kredit pemilikan rumah (KPR). Iqbal Latanro, Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN), menegaskan BTN tidak akan melakukan revisi target kredit perumahannya pada 2008 yang sebesar Rp 10,4 triliun.

Iqbal menyebut, tahun ini BTN menargetkan pertumbuhan kredit sebesar 27 persen, aset tumbuh dari Rp 36 triliun menjadi Rp 70,1 triliun, sedangkan kredit naik dari Rp 22,3 triliun menjadi Rp 59,9 triliun. Menurut Iqbal, pengalaman kenaikan BBM pada bulan Oktober 2006 sebesar 120 persen tidak membuat BTN harus merevisi target. ”Kami percaya pemerintah akan mengeluarkan kebijakan susulan untuk mengantisipasi turunnya daya beli masyarakat seperti pengalaman sebelumnya,” jelasnya.

Dia menambahkan, berdasarkan analisa saat ini belum perlu melakukan revisi. Pemerintah terkait dengan kenaikan BBM biasanya akan memberikan kompensasi kenaikan subsidi. Iqbal menegaskan, imbas dari kenaikan harga BBM baru dirasakan jika nasabah BTN terkena PHK dari perusahaannya. ”Kalau perusahaannya terkena dampak dan melakukan PHK, itu baru akan mempengaruhi BTN,” urainya.

General Manager Unit Kredit Konsumer BCA, Gregorius Hariyanto dalam acara KPR BCA Business Update 2008 awal Mei lalu mengakui gejolak pasar akhir-akhir ini bisa saja menekan penyaluran KPR, ”Barangkali bunga kredit juga naik. Sampai saat ini, BCA belum bisa bilang berapa, karena sedang dihitung,” ujarnya. Gejolak pasar, lanjutnya, tentu akan menggangu niat masyarakat yang ingin membeli rumah, tetapi kebutuhan untuk membeli rumah tidak akan hilang.

------------------------------


Holcim Perkuat Pasar di Jawa Timur

Konsumsi semen kemungkinan mengalami penurunan tetapi diyakini tidak sama dampaknya dengan negara lain. Ini berdasarkan pengalaman di 2005 saat terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak. Hal tersebut diungkapkan Patrick Walser, Direktur Marketing PT Holcim Indonesia Tbk pada saat meresmikan pusat distribusi semen curah dan semen kantong di Surabaya, pekan lalu. Ia mengatakan dengan kenaikan harga BBM jelas memberikan pengaruh pada perekonomian Indonesia. Imbas ekonomi makro, kata Patrick pasti memengaruhi daya beli dan tingkat konsumsi semen. Tetapi jika dilihat dan dibandingkan dengan kuartal I 2008 dengan periode yang sama di 2007, konsumsi semen masih menunjukkan pertumbuhan.
Nah, untuk terus melakukan penetrasi pasar, khususnya di Jawa Timur dan wilayah timur Indonesia, PT Holcim Indonesia Tbk, terus memperkuat pasar dengan mengoperasikan pusat distribusi semen curah dan semen kantong di Romo Kalisari, Surabaya. Presiden Direktur Holcim, Tim Mackay, dalam pernyataan tertulisnya menyebutkan, hal itu dilakukan untuk memperkuat rantai penyaluran produk agar ketersediaan pasokan barang terjamin.
Dia mengatakan, melalui anak usaha beton jadi, Holcim Beton, Holcim Indonesia memantapkan posisinya di Jawa Timur dengan membangun batching plant-batching plant dan tambang batu untuk melayani pekerjaan dalam berbagai skala. Selain itu kata Tim, perseroan juga melakukan diversifikasi produk dengan memberikan solusi bahan bangunan dan aplikasinya. ”Silo semen curah dan warehouse yang besar menjamin ketersediaan barang untuk menunjang pelayanan di daerah Surabaya,” katanya.

Sebagai informasi pasar Holcim terfokus pada penyediaan kebutuhan pasar domestik. Produk yang diekspor hanya 20% dan itu sifatnya menyikapi musiman. Negara-negara tujuan ekspor selama ini adalah: Malaysia, Singapura, Sri Lanka, Mauritius, Madagaskar dan sebagian negara-negara Afrika.

Tidak ada komentar: