Selasa, 26 Agustus 2008

Melirik Kembali Pembiayaan Syariah

Besar angsuran tiap bulan dapat dibuat sama persis dengan angsuran KPR konvensional. Hanya bedanya, angsuran KPR syariah ini tidak akan berubah sampai kredit lunas.

Saat ini pelaku pasar sedang giat-giatnya ”memasarkan'” bank syariah. Rupanya setelah terjadi krisis, hal tersebut membuka mata banyak pihak bahwa bank yang menerapkan sistem syariah seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI) ternyata lebih tahan menghadapi krisis dibanding bank-bank konvensional. Sistem ini terbukti handal karena dalam sistem ini tidak mengenal bunga yang terbukti menjadi faktor yang menyebabkan bank-bank ambruk atau dilikuidasi akibat negative spread atau kredit macet

Dalam industri perbankan syariah, produk KPR Syariah dapat ditawarkan dengan menggunakan dua model pembiayaan, yakni dengan model pembiayaan murabahah dan model pembiayaan musyarakah mutanaqishah. KPR Syariah dengan menggunakan basis pembiayaan murabahah sudah berjalan di industri perbankan syariah. Bahkan model pembiayaan murabahah ini telah menjadi produk favorit di beberapa bank syariah. Sedangkan KPR Syariah dengan model pembiayaan musyarakah mutanaqishah belum banyak dikembangkan di industri perbankan syariah.

Bank syariah dapat meng-create produk KPR Syariah melalui akad murabahah. Murabahah adalah bagian transaksi jual-beli yang pembayarannya sering dilaksanakan tidak secara tunai (non cash). Karena pihak pembeli diberi kemudahan oleh penjual untuk membayar harga dari barang yang disepakati secara angsuran dalam jangka waktu yang disepakati. Nilai angsuran ini disesuaikan dengan besaran harga jual. Kalau melihat karakteristik yang dimilikinya, murabahah merupakan bagian dari jual-beli yang pembayaran harganya ditangguhkan, al-ba’i bi tsaman ajil.

Dalam prakteknya, pembiayaan murabahah diawali dengan negoisasi antara pihak nasabah dengan pihak bank syariah. Dimana pihak nasabah memohon kepada pihak bank untuk membelikan rumah yang diinginkan. Setelah negoisasi selesai dan berujung pada kata mufakat antara nasabah dan bank syariah, maka pihak bank syariah melakukan pembelian rumah secara tunai kepada developer.

Harga jual bank ditentukan oleh besarnya harga pokok, rate keuntungan dan jangka waktu angsuran. Besar angsuran tiap bulan dapat dibuat sama persis dengan angsuran KPR konvensional. Hanya bedanya, angsuran KPR syariah ini tidak akan berubah sampai kredit lunas.

Cara hitung

Cara menghitung harga jual KPR sistem syariah ini adalah berdasarkan pendapatan atau laba yang ingin didapat oleh bank per tahunnya selama jangka waktu kredit. Besarnya tingkat keuntungan ini dapat disamakan dengan bunga KPR konvensional. Sebagai gambaran dapat diambil contoh sebagai berikut:

Seorang calon nasabah yang mengajukan KPR syariah berminat pada rumah yang berharga Rp 20 juta dari developer. Dia mempunyai uang muka sebesar Rp 2 juta sehingga dia membutuhkan KPR sebesar Rp 18 juta yang akan diangsur selama 20 tahun.
Misalkan bank menghendaki pendapatan sebesar 14% per tahun-sesuai bunga KPR-RS saat ini-maka didapat angka annuitas tahunan sebesar 0,150986.

Angsuran nasabah tersebut sebesar 0,150986 x Rp 18 juta / 12 = Rp 226.479 per bulan. Pada waktu akad perjanjian antara bank dengan nasabah dibuat akad jual-beli dimana bank menjual rumah dengan harga sebesar 20 x 12 x Rp 226.479 = Rp 54.354.960; dan nasabah akan membayarnya secara angsuran perbulannya Rp 226.479 selama 20 tahun.

Secara sepintas perhitungan KPR syariah ini tidak berbeda dengan KPR konvensional yang mempergunakan sistem bunga. Perbedaannya dalam KPR syariah ini tidak diterapkan penyesuaian bunga kredit sehingga angsuran akan tetap sampai kredit lunas. Disamping itu karena dalam sistem syariah tidak dikenal time value of money maka bila terjadi tunggakan tidak dapat dite-rapkan perhitungan denda yang berdasarkan suku bunga.

Lalu bagaimana yang dilakukan apabila terjadi tunggakan terus menerus yang kemungkinan akan berakhir dengan kredit macet yang mengakibatkan kerugian pada bank? Pada sistem syariah akad perjanjian yang ditandatangani antara bank dengan nasabah adalah mengikat dan harus dilaksanakan secara konsisten.


Bagaimana halnya apabila debitur KPR syariah hendak melakukan pelunasan sebelum jangka waktu kredit berakhir? Apakah dia harus melunasi kekurangan harga jual-beli yang telah diperjanjikan dimuka dengan dikurangi dengan jumlah angsuran yang telah dibayar? Apabila hal tersebut diterapkan tentunya akan sangat memberatkan, apalagi bila jangka waktu kreditnya masih lama. Didalam contoh di atas bila nasabah akan melunasi pinjamannya setelah lima tahun, maka seharusnya yang harus dibayar adalah Rp 54.354.960 - (5 x 12 x Rp 226.479) = Rp 40.766.220. Jumlah ini tentu tidak realistis karena malah jauh lebih besar dari harga pokok rumah tersebut yang hanya Rp 20 juta.

Seperti halnya pada KPR konvensional untuk KPR syariah ini dapat dibuatkan tabel pembayaran atau repayment schedule. Tabel ini dapat terdiri dari kolom bulan, angsuran, profit atau keuntungan (tingkat keuntungan dikalikan pokok pinjaman dibagi 12), angsuran pokok (angsuran dikurangi keuntungan), pokok pinjaman dan pendapatan yang belum diterima (unearned income balance/UIB).

UIB ini merupakan harga jual bank dikurangi pokok pinjaman dikurangi keuntungan. Dengan demikian kalau ada nasabah yang akan melunasi dipercepat, jumlah yang harus dibayarkan adalah sebesar sisa pokok (principal outstanding) pinjaman ini. Dalam contoh kasus di atas setelah lima tahun maka sisa pokok pinjaman menjadi Rp 16.692.865.

Tapi dalam hal ini untuk pelunasan dipercepat ini bank akan rugi atau kehilangan opportunity untuk mendapatkan keuntungan selama 20 tahun. Sehingga bank dapat menentukan untuk pelunasan dipercepat selain pokok pinjaman tersebut dapat ditambahkan sekian persen dari UIB (di BIMB ditambah 1-2% dan untuk contoh di atas ditambah 2% x Rp 24.073.355 - Rp 481.467).

Di sini dapat disimpulkan bahwa dengan pemberian KPR dengan sistem syariah ini dapat menjadi alternatif penyaluran KPR yang sama-sama menguntungkan bagi nasabah ataupun bank. Bagi nasabah ada kepastian angsurannya tidak akan naik selama jangka waktu kredit. Bagi bank dimungkinkan melakukan eksekusi segera sehingga memperkecil jumlah kredit macet atau bermasalah. Sumber: Dari berbagai sumber
Memilih dan Menghitung Kapasitas AC

Indonesia merupakan negara tropis dengan tingkat suhu dan kelembaban udara cukup tinggi. Hal ini sangat berpengaruh pada tingkat kenyamanan, terutama kenyamanan di dalam ruangan. Namun, kondisi alam yang kurang nyaman ini dapat dimanipulasi dengan alat pengendali suhu dan kelembanan ruang atau biasa disebut air conditioner (AC). Standar kenyamanan didalam ruangan terhadap kondisi udara sekitar (thermal comport) untuk negara-negara tropis berkisar antara 24-26ºC, dengan kelembaban 50-60%.

Semua jenis AC, pada prinsipnya melakukan empat hal dalam pengondisian udara, meliputi pengaturan temperatur, pengaturan kelembaban, pengaturan sirkulasi udara, dan pengaturan kebersihan. Sementara untuk menentukan jenis AC yang akan dipakai, terdapat tiga hal yang harus diperhatikan yakni fungsi gedung luas area, dan dampak pada desain arsitektur gedung.

Tidak semua jenis AC cocok ditempatkan pada semua fungsi gedung, misalnya AC sentral tidak cocok untuk gedung yang berfungsi sebagai apertemen karena belum ada teknologi untuk melakukan penghitungan pemakaian AC pada setiap unit hunian. Begitu pun dengan luas area, pada area atau ruang yang luas bisa digunakan jenis AC sentral atau AC VRV ( variable refrigerant volume )

Untuk ruang yang tidak begitu besar, bisa dipergunakan jenis AC split. Namun,perlu diperhatikan bahwa untuk penggunaan AC split, panjang pipa antara kondensor yang berada di luar ruang dan evaporator yang berada di dalam ruang tidak lebih dari 7 meter dan 20 meter untuk AC split dengan sistim ducting. Bila panjang pipa melebihi ketentuan tersebut, kapasitas AC harus dinaikkan, tetapi hal ini tentu akan berpengaruh pada efisiensi energi listrik.

Pemilihan jenis AC yang tidak disesuaikan dengan arsitektur gedung juga akan menimbulkan ketidaknyamanan, terutama pada gedung-gedung yang telah selesai dibangun sehingga penyesuaian jenis AC juga sangat penting.

Mengenal Standar Pengukuran Kapasitas AC

Standar pengukuran kapasitas AC biasanya diukur dalam BTU (British Thermal Unit) Satu BTU dapat diartikan sebagai jumlah panas yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu 1 derajat Fahreinheit (0,56ºC) air dengan berat 1 pon (0,45kg). Atau 1 BTU- 1,055 Joule. Kapasitas pendinginan dalam BTU/jam disebut juga tonnage refregerant (TR) dengan perhitungan 1 TR = 12,000 BTU/jam dan 1 PK = 9000 BTU/jam.

Sebagai contoh, sebuah AC window yang sederhana mempunyai rating 10.000 BTU. Sebagai perbandingan, 2000 ft2 ( contoh ini merupakan nilai estimasi )





Memilih Ukuran Atau Kebutuhan AC Yang Tepat

Menurut M&E Engineer PT. Meltech Consultindo Nusa, Edi Rosadi, untuk melakukan penghitungan secara detail kebutuhan AC dalam ruangan, para konsultan mekanikal dan elektrikal biasanya menggukan software E20 yang dikeluarkan oleh salah satu produsen AC ternama dengan cara menginput data secara lebih spesifik. Namun, kebutuhan AC dalam ruangan juga dapat dihitung secara manual dengan selisih antara 19-15%

Penghitungan manual dilakukan dengan mengumpulkan beban eksternal dan internal berdasar fungsi ruangan. Beban eksternal atau biasa juga disebut dengan istilah diversity factor meliputi panas konduksi dan panas radiasi, misalnya dinding, langit-langit, jendela dan ventilasi. Nilai diversity factor berbeda-beda, tergantung luas dan fungsi bangunan. Untuk mal 0,8, hotel 0,7 misalnya, beban internal atau biasa juga disebut dengan istilah demand factor meliputi jumlah penghuni, serta lampu penerangan dan peralatan elektronik. Nilai demand factor antara ditentukam dari 0,9-1 tergantung luas area dan kondisi ruangannya.

Menurut Edi Rosadi, meski tidak ada acuan standar yang tepat, berdasarkan fungsi gedung, kapasitas AC pada gedung perkantoran umumnya 600-700 BTU/jam, restoran 1000-1200 BTU/jam, apartemen dan hotel 450-550 BTU/jam, rumah sakit 600-650 BTU/jam dan ruang operasi 1500-1800 BTU/jam.

Rumus untuk perhitungan secara manual ini sebagai berikut:

Estimasi budget dapat dihitung berdasar tipe AC. Untuk AC tipe split duck harganya berkisar antara 8-10 juta/TR. Untuk AC tipe central,harganya berkisar antara 11-13 juta/TR. Untuk AC tipe variable refrigerant volume (VRV) harganya berkisar antara 16-17 juta/TR, sehingga berdasar perhitungan diatas, bila yang dipilih adalah tipe AC central dengan harga termahal, dapat diperoleh perhitungan 168 TR x 13 juta = 2.184.000.000,- rupiah. Harga tersebut sudah termasuk harga total untuk gedung perkantoran dengan 20 lantai dan luas tiap lantai 200 m2.SumberProyeksi

Energi Alternatif Bagi Industri Perumahan

Untuk pengembangan energi alternatif, regulasi yang dibutuhkan adalah yang berhubungan dengan tata niaga sumber energi dan perangkat hukumnya, sehingga energi alternatif dapat diperdagangkan pihak swasta

Meningkatnya harga minyak mentah dunia yang nyaris mendekati angka US$ 150/barrel beberapa waktu lalu, mengakibatkan beberapa jenis energi alternatif yang dulu dianggap terlalu mahal, kini menjadi pilihan yang memungkinkan untuk dikembangkan lagi, khususnya bagi subsektor perumahan.

Apalagi ketergantungan produksi listrik di Indonesia sebagian besar masih dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga diesel dan uap yang menggunakan sumber energi yang tidak terbarukan seperti minyak/solar dan batubara. ”Pengadaan pembangkit listrik baru berbahan baku energi terbarukan seperti air, tenaga surya, angin, biomassa, dsb sangat kurang dan terlambat dilaksanakan. Karena itu pengembang harus mengkaji keekonomiannya untuk pengembangan pembangunan perumahan,” ungkap Johannes Tulung, Anggota Tim Pendayagunaan Energi Listrik Alternatif DPP REI..

Maklum, salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pengembang agar bisa melaksanakan Akad Kredit antara konsumen pembeli rumah dengan bank adalah tersedianya daya listrik dirumah yang akan dihuni. Ironisnya, diberbagai daerah di Indonesia kini terjadi kekurangan daya listrik sehingga PLN tidak sanggup memasok listrik bagi rumah-rumah yang telah siap terbangun dan siap untuk pelaksanaan akad kredit serta serah terima rumah.

Menurut Gannet F.Pontjowinoto, President Director PT Energy Management Indonesia, secara umum kebijakan energi nasional masih bertumpu pada energi yang berasal dari fosil, terutama bahan bakar minyak (BBM). Khusus tentang penyediaan energi listrik dari kapasitas PLN yang terpasang, sebesar 72,85% energi dihasilkan dari bahan bakar fosil yang terdiri: 28,58% berasal dari pembangkit berbahan bakar gas, 25,28% dari minyak bumi, dan 18,99% berasal dari batu bara. Sedangkan tenaga listrik yang dihasilkan oleh tenaga air sebesar 11,96%, dan yang dihasilkan oleh panas bumi sebesar 1,51%.

Karena itu lanjutnya, menyikapi permasalahan krisis energi, khususnya yang menimpa kalangan pengusaha perumahan, keberadaan beberapa solusi pengadaan listrik alternatif di luar daya yang disediakan PLN bagi para pengembang saat ini dirasakan sangat mendesak. Pengetahuan mengenai teknologi yang ada, kemungkinan pengembangan sesuai karakteristik lingkungan proyek yang dikembangkan, investasi yang dibutuhkan, sampai dengan rekayasa finansial serta contoh penerapan, akan menjadi masukan bagi para pengembang untuk memilih kemungkinan pengadaan listrik diproyek masing-masing selain dari PLN.

Darimana Memulainya?

Pilihan ideal bagi Indonesia menurut Arya Rezavidi, Direktur Pusat Teknologi Konversi dan Konservasi Energi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) terletak pada energi baru dan terbarukan (EBT). Indonesia memiliki potensi besar sumber energi jenis ini seperti panas bumi, biomassa, mikrohidro, angin, surya, gambut, pasang surut dan gelombang.

Di tinjau dari dampaknya terhadap lingkungan, energi ini termasuk energi yang ramah lingkungan. Sebagai daerah vulkanik, wilayah lndonesia termasuk negara kaya akan sumber energi panas bumi. Jalur gunung api membentang dari ujung Pulau Sumatra Sepanjang Pulau Jawa-Bali, NTT, NTB, Halmahera dan Pulau Sulawesi.

Sebagai negara tropis, Indonesia kaya akan biomassa. Kita memiliki potensi biomassa sebesar 50 000 MW yang tersebar di seluruh wilayah negeri ini. Dari jumlah sebesar ini, baru dimanfaatkan sebesar 313 MW, atau sebesar 0,62 % dari potensi yang ada. Sementara itu, energi baru dan terbarukan yang lain dapat dikatakan belum disentuh.

Semua pihak kelihatannya akan menyetujui upaya diversifikasi sumber energi. Namun, pertanyaan yang sulit dijawab adalah siapa pelopor dan dari mana mulainya. Realitas saat ini menunjukkan bahwa minyak masih merupakan pilihan paling menguntungkan. Karena itu lanjut Rohadi Awaluddin, Peneliti dari Institute of Science and Technology Studies (ISTECS) perubahan pilihan energi tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat.

Diperlukan perubahan fasilitas dengan investasi tidak kecil. Perubahan ini, tentunya, disertai resiko yang tidak kecil. Oleh karena itu, upaya diversifikasi sumber energi ini tidak dapat diserahkan kepada pihak swasta sepenuhnya. Untuk memulai upaya diversifikasi sumber energi, pemerintah perlu mengambil inisiatif awal. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan pemerintah untuk memacu upaya ini:
- Menciptakan suasana yang mendukung bagi pengalihan sumber energi dari minyak. Pemerintah dapat memberikan insentif, misalnya berupa keringanan pajak bagi industri pengguna energi selain minyak.. Tingkat pengurangan pajak ini tentunya disesuaikan dengan jenis sumber energi yang digunakan. Insentif tertinggi sebaiknya diberikan kepada pengguna sumber energi dari jenis EBT.
- Langkah percontohan. Bagi para calon pengguna, contoh nyata merupakan faktoryang menentukan. Di negeri dengan tingkat ketidakpastian yang sangat tinggi ini, percontohan dapat dilakukan oleh badan usaha milik negara (BUMN)

Bila melihat perkembangan energi alternatif yang tergolong energi terbarukan, terlihat potensi yang ada, seperti disia-siakan saja. Seperti energi panas bumi, yang saat ini cadangannya mencapai 27.000 MWe (Megawatt of electrical output), baru dipakai sepertiganya, yaitu sebesar 9.000 MWe atau setara dengan listrik sebesar 800 MW.

Cadangan energi dari pembangkit air diperkirakan ada sebesar 75,67 gigawatt. Namun yang dikembangkan baru sebesar 24 gigawatt saja. Beberapa bentuk hambatan yang dibuat pemerintah sendiri, sehingga meminimkan upaya swasta dalam mengembangkan energi alternatif adalah hambatan regulasi, insentif dan perpajakan.

Untuk pengembangan energi alternatif yang terbarukan dibutuhkan regulasi oleh pemerintah. Regulasi yang dibutuhkan berhubungan dengan tata niaga sumber energi dan perangkat hukum sehingga energi alternatif dapat diperdagangkan. Sebagai contoh lanjut sampai saat ini masih ada aturan pemerintah yang melarang swasta memproduksi listrik dan menjual langsung kepada masyarakat.

Jika aturan itu dicabut, lanjut Johannes bukan tidak mungkin pengembang berinisiatif menyediakan daya bagi keperluan usahanya sendiri, sehingga krisis daya yang kini terjadi diberbagai lokasi perumahan bisa teratasi. “Energi alternatif ini memang investasi awalnya besar. Tetapi bagi sebagian pengembang, bukanlah persoalan yang terlalu serius, karena bisa saja hal itu dipaketkan dengan pembiayaan KPR,” lanjutnya.

Malah, bukan tidak mungkin, penggunaan energi alternatif menjadi tagline penjualan sebagian pengembang, sehingga jualannya lebih laris. Perumahan yang gratis iuran listrik seumur hidup! Karena memang rumahnya sudah dipasang tenaga surya.