Selasa, 15 Juli 2008



Agar Merek Makin Terkerek

Ekspektasi sinergi diharapkan muncul dari strategi co-branding

Intel Inside. Banyak pengamat yang menyebutkan itulah salah satu contoh strategi kerjasama pemasaran dengan program co-branding yang sukses. Intel tidak menjual secara langsung produknya kepada end users (pemakai) tetapi harus melalui perusahaan komputer seperti IBM, Compact, Gateway dan lain-lain.

Lalu apakah sebenarnya yang dimaksud dengan co-branding? Pada hakikatnya co-branding adalah suatu bentuk kerjasama diantara dua merek atau lebih, memanfaatkan brand awareness kedua belah pihak dan nama merek masing-masing masih dipakai. Co-branding dipakai berbagai perusahaan untuk meningkatkan pengaruh dan lingkup mereknya, memasuki area atau sektor pasar yang baru. Juga dipakai menyodorkan teknologi baru, mengurangi biaya melalui skala ekonomis dan untuk penyegaran citra.

Biasanya masa kerjasama co-branding ini berada diantara jangka menengah sampai jangka panjang, sebelum lebih jauh melangkah untuk mengeluarkan merek baru atau joint venture secara legal. Bagi sebagian perusahaan, manfaat co-branding lebih bersifat taktis yang tujuannya untuk memanfaatkan kapabilitas reputasi mitra untuk memasuki suatu pasar baru dan secara bersama-sama meningkatkan pemasukan. Bagi perusahaan yang lain co-branding lebih bersifat permanen, khususnya di sektor industri teknologi tinggi yang membutuhkan investasi yang besar.

Lantas mengapa co-branding harus ditempuh perusahaan? Dalam sebuah tulisannya, pakar marketing dan Chairman Frontier Consulting Group, Handi Irawan, mengulas bahwa salah satu alasannya adalah karena ekspektasi sinergi yang diharapkan muncul dari strategi ini. Sinergi muncul ketika co-branding memberikan value bagi masing-masing merek. Baik value dalam bentuk laba ataupun value dalam bentuk peningkatan brand equity setiap merek.

Ekspektasi sinergi terutama relevan bagi tipe co-branding di mana satu produk menggunakan dua merek yang sudah eksis (composite branding), sedangkan ingredient branding umumnya ditempuh guna memperkuat brand equity dari host brand, seperti yang dilakukan oleh Produsen semen PT Holcim Indonesia Tbk dan produsen semen instan PT Cipta Mortar Utama (CMU) yang memproduksi semen instan merek Mortar Utama (MU).

Holcim dapat dikatakan sebagai ingredient brand. Sementara, MU adalah finished product, karena semen yang akan dipakai sebagai bahan baku pembuat semen instan MU adalah semen Holcim. Untuk itu Holcim berkewajiban menyediakan seluruh kebutuhan semen dan pasir sebagai salah satu bahan baku pembuatan semen instan MU.

Sekedar informasi tahun lalu, Holcim menguasai 16 persen pasar semen nasional, dengan kapasitas produksinya mencapai 7,9 juta ton dan optimalisasi produksi hingga 80 persen. Saat ini, konsumsi semen nasional mencapai 34 juta ton. Sementara, kenaikan angka konsumsi mencapai rata-rata 7 persen per tahun. Sedangkan pemanfaatan semen untuk bahan baku semen instan, menurut Jun Suryo Wardhana, General Manager CMU, berada di kisaran angka 40 persen dari konsumsi nasional dan trennya, pemakain semen instan tumbuh dua digit.

Tahap awal, semen instan jenis MU 301 dijadikan sebagai pilot project dalam co-branding dari 22 jenis produk yang dihasilkan CMU selama ini. Untuk selanjutnya dalam jangka panjang terbuka kemungkinan kerjasama merek ini menggunakan semen Holcim pada seluruh jenis produk CMU.

Bagi kedua perusahaan, co-branding ini pada akhirnya sama-sama bertujuan agar nama dan perolehan fulus keduanya bisa ngerek alias naik menjulang.




Tidak ada komentar: