Selasa, 16 Desember 2008

Kembali Ke Surau

Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah artikel dikoran lokal yang terbit di Padang, Sumatera Barat. Tulisan yg menceritakan tradisi mengaji disurau pada puluhan tahun lalu. Tradisi itu kini nyaris punah. Alasannya anak-anak sekolah sekarang dituntut belajar dirumah (saja) pada malam hari.
Saya jadi teringat, ketika dulu diusia sekolah dasar, setiap hari pergi harus pergi mengaji (belajar agama) ke surau. Paginya sekolah umum, siang sekolah agama (madrasah) dan malamnya harus mengaji ke surau. Jam 18.15 WIB sebelum sholat magrib kami sudah harus sampai di surau, kemudian sholat magrib berjamaah. Bagi anak laki-laki tidak ada ampun jika datang terlambat. Rotan yang selalu dipegang angku (guru mengaji) akan menghajar telapak tangan atau telapak kaki anak-anak yang datang telat. Demikian juga jika ribut ketika pelajaran dimulai, angku tak segan melecut kami dengan rotan. Saking sering rotan itu dipukulkan, sekali seminggu harus diganti rotan baru.
Lantas apakah orang tua kami marah? Tidak. Bagaimana mau marah karena waktu itu saya ingat sekali, setiap orang tua harus datang sendiri menyerahkan anaknya pada hari pertama masuk mengaji. Beras segantang dan sebilah rotan adalah persyaratan masuk mengaji.”Saya serahkan anak saya pada tuanku guru. Tegur dia kalau salah, jangan ragu untuk memukulnya,” kata bapak saya seraya menyerahkan sebilah rotan kepada tuanku guru. Itu juga yang dilakukan orang tua yang lainnya. Jika ribut, tak mendengarkan kaji angku guru, rotan mendarat di telapak tangan atau kaki kami.
Demikianlah tradisi itu dulu berjalan. Tradisi itulah konon, menurut keterangan mamak saya (om) telah berjalan puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Malah dulu setiap laki-laki tak boleh tidur di rumah. Tak ada kamar bagi anak laki-laki di minangkabau. Anak laki-laki itu pulang kerumah hanya sekedar berganti baju dan makan. Malam hari mereka habiskan waktu dengan mengaji agama. Mamak saya bercerita pada waktu itu setiap kampung, suku dan mamak yang menyandang gelar adat tertentu memiliki surau masing-masing di sukunya. Tak heran surau adalah rumah bagi anak laki-laki minang zaman dulu.
Tradisi itu konon katanya mampu melahirkan tokoh-tokoh sekelas Hamka, Agus Salim, M. Hatta, M. Natsir, Tan Malaka dan nama-nama lainnya. Di suraulah mereka di didik oleh guru yang juga orang tua mereka. Tak hanya ilmu agama yang di dapat tetapi juga ilmu ukur, beladiri, petatah petitih dll.
Kebiasaan belajar kelompok tadi telah berhasil melahirkan diplomat kelas internasional, sejarahwan, sastrawan, ulama, pemimpin, politisi dan banyak lagi mutiara yang di sumbangkan minang kabau untuk Indonesia dan dunia.Hal itu merupakan bentuk pendidikan non formal dan informal yang sudah berurat berakar di minang kabau pada zaman dulu, tradisi yang bisa mengalahkan kemampuan pendidikan formal.Banyak orang minang yang lahir dari kearifan surau yang luar biasa menggembleng anak muda minang kabau pada masa itu.

Nah, sekarang dengan masuknya budaya global seiring perkembangan teknologi informasi yg demikian dasyat apakah budaya belajar disurau bisa kembali di terapkan. Rasanya sulit, kita harus mencari sebuah rumusan baru yang bisa menggantikan tradisi pulang ke surau tersebut. Harus dicari bagaimana pendekatannya bagi anak-anak kita supaya minang kabau tetap bisa melahirkan tokoh-tokoh yang bisa membawa perubahan bagi Indonesia dan dunia seperti dulu dilakukan Agus salim, Hamka, Tan Malaka dll..

Tidak ada komentar: