Kredit RSH Bersubsidi
APHT, Dalang yang Bisa Menggerogoti Pasar RSH
Untuk menghindari pungutan APHT, konsumen memperkecil plafon kreditnya. Uang muka pun harus ditambah.
Keputusan pemerintah menaikkan harga jual Rumah Sederhana Sehat (RSH) bersubsidi maksimal Rp 55 juta per unit dengan menyertakan kebijakan peningkatan besarnya skim subsidi yang diberikan, ternyata belum sepenuhnya efektif bisa meningkatkan kemampuan beli masyarakat. Memang setelah harga jual maksimum Rp 55 juta, pemerintah juga menaikkan nilai subsidi.
Untuk kelompok I dengan harga jual maksimum Rp 55 juta konsumen memperoleh subsidi Rp 8,5 juta, dari sebelumnya Rp 7,5 juta. Sedangkan kelompok sasaran II dengan harga maksimal Rp 41,5 juta mendapatkan subsidi Rp 11,5 juta dari sebelumnya Rp 10 juta, dan kelompok sasaran III dengan batas harga jual maksimum Rp 28 juta mendapatkan subsidi Rp 14,5 juta dari sebelumnya hanya Rp 12, 5 juta.
Tetapi setelah kebijakan itu berjalan beberapa lama, mulai muncul beberapa persoalan. Salah satu yang (mungkin) terlupakan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Negara Perumahan Rakyat (Kemenpera) adalah masih tetap dibebankannya konsumen RSH bersubsidi untuk membayar biaya Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) untuk plafon kredit yang besarnya sama atau di atas Rp 50 juta.
Pasalnya, akibat kenaikan harga RSH Rp 55 juta itu, maka besarnya plafon kredit kelompok sasaran I juga ikut naik, menjadi Rp 50.800.000,-, dengan uang muka sebesar Rp 4.200.000,-. Akibat plafon kredit (pokok kredit) yang nilainya di atas Rp 50 juta tersebut, sesuai dengan aturan yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan aturan Bank Indonesia, dimana jika nilai kredit itu besarnya sama atau di atas Rp 50 juta maka terhadap agunannya harus diikat dengan APHT yang dibayarkan kepada negara. Sebaliknya jika nilai kredit kurang dari Rp 50 juta maka cukup diikat dengan perjanjian Surat Kuasa Memasang Hak Tanggungan (SKMHT).
Nah, justru di situlah letak persoalannya. Pungutan APHT yang harus dibayar konsumen sewaktu proses akad kredit kepada BPN melalui notaris itu nilainya mencapai Rp 800.000 per-sertifikat. Bandingkan dengan SKMHT yang hanya sebesar Rp 75.000,- persertifikat. Akibat berbedaan yang menyolok (selisih APHT dan SKMHT-red) maka banyak pengembang yang menyarankan kepada konsumen untuk memperkecil plafon kreditnya di bawah Rp 50 juta.
“Lebih efisien bagi konsumen. Dari pada mereka mendapatkan kredit Rp 50.800.000 tetapi Rp 800.000-nya digunakan untuk membayar APHT. Lebih baik plafon kreditnya diturunkan menjadi Rp 49.900.000,- dengan hanya terkena SKMHT Rp 75.000,-,” jelas Preadi Ekarto, Wakil Ketua Umum DPP REI bidang RSH.
Bagi konsumen tentu itu adalah sebuah pilihan yang sulit karena menurunkan pokok kredit sama saja artinya mereka harus menambah uang muka yang harus dibayarkan. Bandingkan saja, dengan mendapatkan plafon Rp 50.800.000,- konsumen hanya menyediakan uang muka Rp 4,2 juta. Tetapi untuk menghindari pungutan APHT tadi maka plafonnya (terpaksa) diturunkan di bawah Rp 50 juta, misalnya Rp 49.900.000,- . Artinya konsumen harus menambah lagi uang muka Rp 900.000,-sehingga total uang muka menjadi Rp 5,1 juta.“Tentu bukan pilihan terbaik karena sama saja artinya jumlah uang mukanya naik 20 persen. Kenaikkan itulah yang memberatkan konsumen,. Pasar RSH bisa tergerus,” jelas Direktur Utama ISPI Group ini.
Tinjau Kembali Besarnya APHT
Padahal masalah utama yang selalu menggayuti konsumen RSH bersubsidi ini adalah ketidakmampuan menyediakan uang muka dalam jumlah besar. Tetapi dengan harus menaikkan uang muka, dengan alasan menghindari pungutan APHT ini, jelas akan mengancam daya beli masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 2,5 juta—yang berhak membeli RSH bersubsidi. “Pemerintah sebaiknya meninjau kembali pungutan APHT tersebut. Untuk kredit RSH cukup membayar SKMHT karena relatif terjangkau. Pungutan APHT itu hampir sama besarnya dengan nilai cicilan selama tiga bulan. Itu amat berarti bagi masyarakat menengah bawah,” tutur pengembang spesialis RSH itu.
Kenyataan di lapangan juga dirasakan kalangan pengembang yang lain. Jhony Halim, pengembang RSH di daerah Sumatera Barat itu mengakui akibat biaya-biaya yang dikenakan dalam proses akad kredit, banyak konsumen yang menunda akad kredit dengan alasan belum cukup uang. “Di luar uang muka ada biaya-biaya KPR. Besarnya kadang hampir separuh uang muka, jadi memberatkan. Harusnya memang biaya-biaya yang tidak perlu dan memberatkan konsumen kecil itu bisa ditanggung negara. Jangan samakan kebijakan RSH dengan kredit non RSH, kasihan masyarakat,” pintanya.
Nah, supaya konsumen menengah bawah tetap bisa menikmati plafon Rp 50.800 ribu tetapi tidak perlu harus membayar biaya APHT, pengembang yang tergabung dalam Asosiasi Real Estat Indonesia (REI) melalui Kemenpera telah mencoba mencari jalan keluarnya. Solusi yang disarankan ke pemerintah yang nanti akan disampaikan oleh Kemenpera kepada BPN dan Bank Indonesia itu antara lain adalah:
Tarif APHT untuk RSH bersubsidi sama dengan SKMHT dengan alasan hal itu tidak memberatkan konsumen
Karena kebijakan timbulnya APHT untuk kredit yang besarnya sama atau di atas 50 juta dari Bank Indonesia diusulkan Untuk RSH bersubsidi tidak perlu dilakukan APHT cukup bayar SKMHT saja. Atau ikut Kepmen saja. Kalau Kepmennya berubah maka SKMHT-nya juga berubah.
Semua hal itu disulkan REI menurut Preadi untuk memperbesar kemungkinan rakyat bisa memiliki rumah. ”Dengan membayar uang muka lebih kecil artinya pangsa pasar makin besar. Masak cicilannya Rp 290 ribu tetapi harus bayar APHT Rp 800 ribu, itu sama saja dengan 3 kali cicilan,” kritiknya.
Tito Murbaintoro, Deputi Pembiayaan Kementerian Negara Perumahan Rakyat mengaku justru baru mengetahui jika APHT yang dibebankan tersebut jumlahnya cukup besar, dan memberatkan konsumen RSH. ”Terus terang saya juga baru mendengar hal itu. Cuma kami belum tahu aturannya seperti apa, besarnya pungutan itu dasarnya apa. Kami lagi koordinasikan dengan BPN. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini akan ada jalan keluar terbaik. Karena kami juga tidak mau hanya karena masalah ini bisa memukul daya beli masyarakat,” tegasnya.
Tito meminta pihak-pihak yang keberatan memberikan masukan dan informasi dasar hukum dan tarif dari diberlakukannya APHT tersebut. Karena jika telah memiliki alasan formal dan informasi yang jelas soal aturan mana saja yang memberatkan, baru Kemenpera bisa menindaklanjutinya. ”kami minta data pendukung, tarif-tarifnya. Jika sudah terkumpul kita carikan jalan keluar terbaik bagi semua pihak,”janjinya.
Ilustrasi beban biaya yang harus ditanggung konsumen ketika akad kredit:
1. Angsuran bulan pertama Rp 336.000,-
3. Provisi bank Rp 224.500,-
4. Biaya Notaris Rp 100.000,-
5. SKMHT Rp 75.000,-
6. Biaya Apparaisal Rp 120.000,-
7. Premi asuransi kebakaran Rp 216.042,-
8. Premi asuransi Jiwa (umur >40 th) Rp 867.468,-
9. Saldo tabungan diblokir Rp 550.000,-
10. Biaya administrasi Rp -
Total Rp 2.394.000,-
APHT, Dalang yang Bisa Menggerogoti Pasar RSH
Untuk menghindari pungutan APHT, konsumen memperkecil plafon kreditnya. Uang muka pun harus ditambah.
Keputusan pemerintah menaikkan harga jual Rumah Sederhana Sehat (RSH) bersubsidi maksimal Rp 55 juta per unit dengan menyertakan kebijakan peningkatan besarnya skim subsidi yang diberikan, ternyata belum sepenuhnya efektif bisa meningkatkan kemampuan beli masyarakat. Memang setelah harga jual maksimum Rp 55 juta, pemerintah juga menaikkan nilai subsidi.
Untuk kelompok I dengan harga jual maksimum Rp 55 juta konsumen memperoleh subsidi Rp 8,5 juta, dari sebelumnya Rp 7,5 juta. Sedangkan kelompok sasaran II dengan harga maksimal Rp 41,5 juta mendapatkan subsidi Rp 11,5 juta dari sebelumnya Rp 10 juta, dan kelompok sasaran III dengan batas harga jual maksimum Rp 28 juta mendapatkan subsidi Rp 14,5 juta dari sebelumnya hanya Rp 12, 5 juta.
Tetapi setelah kebijakan itu berjalan beberapa lama, mulai muncul beberapa persoalan. Salah satu yang (mungkin) terlupakan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Negara Perumahan Rakyat (Kemenpera) adalah masih tetap dibebankannya konsumen RSH bersubsidi untuk membayar biaya Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) untuk plafon kredit yang besarnya sama atau di atas Rp 50 juta.
Pasalnya, akibat kenaikan harga RSH Rp 55 juta itu, maka besarnya plafon kredit kelompok sasaran I juga ikut naik, menjadi Rp 50.800.000,-, dengan uang muka sebesar Rp 4.200.000,-. Akibat plafon kredit (pokok kredit) yang nilainya di atas Rp 50 juta tersebut, sesuai dengan aturan yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan aturan Bank Indonesia, dimana jika nilai kredit itu besarnya sama atau di atas Rp 50 juta maka terhadap agunannya harus diikat dengan APHT yang dibayarkan kepada negara. Sebaliknya jika nilai kredit kurang dari Rp 50 juta maka cukup diikat dengan perjanjian Surat Kuasa Memasang Hak Tanggungan (SKMHT).
Nah, justru di situlah letak persoalannya. Pungutan APHT yang harus dibayar konsumen sewaktu proses akad kredit kepada BPN melalui notaris itu nilainya mencapai Rp 800.000 per-sertifikat. Bandingkan dengan SKMHT yang hanya sebesar Rp 75.000,- persertifikat. Akibat berbedaan yang menyolok (selisih APHT dan SKMHT-red) maka banyak pengembang yang menyarankan kepada konsumen untuk memperkecil plafon kreditnya di bawah Rp 50 juta.
“Lebih efisien bagi konsumen. Dari pada mereka mendapatkan kredit Rp 50.800.000 tetapi Rp 800.000-nya digunakan untuk membayar APHT. Lebih baik plafon kreditnya diturunkan menjadi Rp 49.900.000,- dengan hanya terkena SKMHT Rp 75.000,-,” jelas Preadi Ekarto, Wakil Ketua Umum DPP REI bidang RSH.
Bagi konsumen tentu itu adalah sebuah pilihan yang sulit karena menurunkan pokok kredit sama saja artinya mereka harus menambah uang muka yang harus dibayarkan. Bandingkan saja, dengan mendapatkan plafon Rp 50.800.000,- konsumen hanya menyediakan uang muka Rp 4,2 juta. Tetapi untuk menghindari pungutan APHT tadi maka plafonnya (terpaksa) diturunkan di bawah Rp 50 juta, misalnya Rp 49.900.000,- . Artinya konsumen harus menambah lagi uang muka Rp 900.000,-sehingga total uang muka menjadi Rp 5,1 juta.“Tentu bukan pilihan terbaik karena sama saja artinya jumlah uang mukanya naik 20 persen. Kenaikkan itulah yang memberatkan konsumen,. Pasar RSH bisa tergerus,” jelas Direktur Utama ISPI Group ini.
Tinjau Kembali Besarnya APHT
Padahal masalah utama yang selalu menggayuti konsumen RSH bersubsidi ini adalah ketidakmampuan menyediakan uang muka dalam jumlah besar. Tetapi dengan harus menaikkan uang muka, dengan alasan menghindari pungutan APHT ini, jelas akan mengancam daya beli masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 2,5 juta—yang berhak membeli RSH bersubsidi. “Pemerintah sebaiknya meninjau kembali pungutan APHT tersebut. Untuk kredit RSH cukup membayar SKMHT karena relatif terjangkau. Pungutan APHT itu hampir sama besarnya dengan nilai cicilan selama tiga bulan. Itu amat berarti bagi masyarakat menengah bawah,” tutur pengembang spesialis RSH itu.
Kenyataan di lapangan juga dirasakan kalangan pengembang yang lain. Jhony Halim, pengembang RSH di daerah Sumatera Barat itu mengakui akibat biaya-biaya yang dikenakan dalam proses akad kredit, banyak konsumen yang menunda akad kredit dengan alasan belum cukup uang. “Di luar uang muka ada biaya-biaya KPR. Besarnya kadang hampir separuh uang muka, jadi memberatkan. Harusnya memang biaya-biaya yang tidak perlu dan memberatkan konsumen kecil itu bisa ditanggung negara. Jangan samakan kebijakan RSH dengan kredit non RSH, kasihan masyarakat,” pintanya.
Nah, supaya konsumen menengah bawah tetap bisa menikmati plafon Rp 50.800 ribu tetapi tidak perlu harus membayar biaya APHT, pengembang yang tergabung dalam Asosiasi Real Estat Indonesia (REI) melalui Kemenpera telah mencoba mencari jalan keluarnya. Solusi yang disarankan ke pemerintah yang nanti akan disampaikan oleh Kemenpera kepada BPN dan Bank Indonesia itu antara lain adalah:
Tarif APHT untuk RSH bersubsidi sama dengan SKMHT dengan alasan hal itu tidak memberatkan konsumen
Karena kebijakan timbulnya APHT untuk kredit yang besarnya sama atau di atas 50 juta dari Bank Indonesia diusulkan Untuk RSH bersubsidi tidak perlu dilakukan APHT cukup bayar SKMHT saja. Atau ikut Kepmen saja. Kalau Kepmennya berubah maka SKMHT-nya juga berubah.
Semua hal itu disulkan REI menurut Preadi untuk memperbesar kemungkinan rakyat bisa memiliki rumah. ”Dengan membayar uang muka lebih kecil artinya pangsa pasar makin besar. Masak cicilannya Rp 290 ribu tetapi harus bayar APHT Rp 800 ribu, itu sama saja dengan 3 kali cicilan,” kritiknya.
Tito Murbaintoro, Deputi Pembiayaan Kementerian Negara Perumahan Rakyat mengaku justru baru mengetahui jika APHT yang dibebankan tersebut jumlahnya cukup besar, dan memberatkan konsumen RSH. ”Terus terang saya juga baru mendengar hal itu. Cuma kami belum tahu aturannya seperti apa, besarnya pungutan itu dasarnya apa. Kami lagi koordinasikan dengan BPN. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini akan ada jalan keluar terbaik. Karena kami juga tidak mau hanya karena masalah ini bisa memukul daya beli masyarakat,” tegasnya.
Tito meminta pihak-pihak yang keberatan memberikan masukan dan informasi dasar hukum dan tarif dari diberlakukannya APHT tersebut. Karena jika telah memiliki alasan formal dan informasi yang jelas soal aturan mana saja yang memberatkan, baru Kemenpera bisa menindaklanjutinya. ”kami minta data pendukung, tarif-tarifnya. Jika sudah terkumpul kita carikan jalan keluar terbaik bagi semua pihak,”janjinya.
Ilustrasi beban biaya yang harus ditanggung konsumen ketika akad kredit:
1. Angsuran bulan pertama Rp 336.000,-
3. Provisi bank Rp 224.500,-
4. Biaya Notaris Rp 100.000,-
5. SKMHT Rp 75.000,-
6. Biaya Apparaisal Rp 120.000,-
7. Premi asuransi kebakaran Rp 216.042,-
8. Premi asuransi Jiwa (umur >40 th) Rp 867.468,-
9. Saldo tabungan diblokir Rp 550.000,-
10. Biaya administrasi Rp -
Total Rp 2.394.000,-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar